26 June 2008

Alumni Punya Situs!!!

Hari ini kegiatan sekolah sudah mulai mereda banyak, pasalnya esok hari pembagian raport. Di saat agak santai inilah, coba mengelana melalui google, ternyata ada sebuah situs tentang SMAN 32. Situs tersebut adalah milik alumni, tapi alumni senior banget, masih jaman "jahiliyah", he..he..he..he..

Oke deh liat neh screnshotnya:


Alamtnya di : http://www.sman32-90.org/
Kunjungi ya, kalu mau mengenalnya, setidaknya bisa liat tampang manusia jaman dulu (just kid)

Kelulusan Bisa Transparan dan Jujur : Sebuah Catatan Untuk Siswa, Sekolah, dan Negara

Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan standar tertentu sejak awal millenium ini, telah membawa kondisi psikologis siswa ke ruang yang baru, yakni sebuah rasa takut sekaligus was-was menyoal kelulusan. Realitas yang hadir, UAN yang diutamakan, bahkan standar lulus yang diperluas dan didesentralisasikan ke sekolah tidak banyak membuat siswa bergeming untuk tetap mengutamakan UAN. “UAN lulus, pasti lulus semua”, kira-kira begitulah keyakinan siswa kelas 12 sekarang ini. Padahal, kelulusan sekarang bergantung pula, bukan hanya pada Nilai UAN akan tetapi UAS, Ujian Praktik/raport, dan sikap harus berstatus baik.

Disinilah timbul kesenjangan, masalah yang muncul adalah seharusnya siswa mengedepankan kebermaknaan dalam melampaui ujian-ujian tersebut, akan tetapi sebaliknya : mereka menganggap “tidak berpengaruh”, walaupun ujian-ujian non-UAN anjlok (baca : akan dibantu sekolah). Hal ini cukup beralasan, karena selama ini pada umumnya Ujian akhir versi sekolah : “langka yang tidak lulus, alias : semua lulus”. Tercium wangi aroma kebohongan, dan bukan hal baru kalau gengsi sekolah telah “menyulap” nilai yang rusak menjadi “kinclong”. Keburukan tersebut, bertambah setelah banyak kalangan yang disebut pihak independen merilis kecurangan - kecurangan dalam UAN sekarang ini, bahkan sebelum - sebelumnya. Kini, bagamanakah solusinya agar UAN dan UAS memiliki kebermaknaan apabila siswa melakukannya ?, dan jelas : agar tidak meremehkan versi sekolah.

Pertama, untuk UAN dalam hal pendistribusisn yang dikawal polisi tetap dilanjutkan. Kedua, UAS diselenggarakan seperti UAN, dengan cara dibuat soal per-sanggar (baca : tingkat kecamatan) lalu di-repacage oleh Diknas sebelum didistribusiskan ke setiap sekolah dalam naungan rayon tersebut. Ketiga : scan analisis jawaban diberikan ke sanggar masing-masing. Keempat : biaya operasional UAS, khususnya penggandaan soal, kertas, dan scan jawaban ditanggung sekolah. Kelima, sehubungan usaha mengurangi kecurangan dengan drastis, maka pihak independen ditingkatkan derajatnya yang semula sebagai pemantau, kemudian ditambahkan menjadi pengawas ujian di dalam kelas (baca : integritas mereka harus diuju, bukan?). Kelima, para guru menjadi penyelenggara ujian disekolah masing-masing.Uraian di atas menunjukkan bahwa berbagai pihak terlibat secara aktif, sehingga kecurangan akan dapat ditekan sedemikian rupa dan selain pelajaran UAN “tiga serangakai”, mendapat perlakuan yang sama di mata siswa. Sehingga siswa dapat lebih bangga bila menyelesaikan ujian akhir, baik versi negara maupun sekolah. Selain itu, apa yang ingin dicapai agar pendidikan secara nasional, bahkan masing-masing lulusan sekolah, dapat segera terealisir, yaitu setara dengan negara-negara tetangga, minimal se - Asia Tenggara. Semoga. (Sumber: http://suciptoardi.wordpress.com/2007/09/04/kelulusan-bisa-transparan-dan-jujur-sebuah-catatan-untuk-siswa-sekolah-dan-negara/)

Fenomenan dan Separate Effect Ujian Nasional

Sekitar pukul 13.30 WIB saya mendapat sms dari murid terkait dengan keadaan yang dialaminya, serta teman-temannya saat mengerjakan Ujian Akhir Nasional (UAN). Sms tersebut membangkitkan untuk menulis sekarang ini tentang sisi lain, separate effect (dampak yang menyebar) dari perjalanan UAN beberapa tahun belakangan ini. Tulisan berikut, sudah barang tentu, bukanlah versi pemerintah yang mati-matian mempertahankan kebenaran dan keberlangsungan penyelenggaraan UAN apabila berargumen didepan pakar Psikologi Pendidikan dan kaum kritis lainnya, namun hanya sebuah ungkapan yang diamati selama ini.

Pertama, dengan standarisasi tertentu menyebabkan siswa/siswi SMA dan SMP harus ekstra belajar, bahkan melakukan sewa tenaga pengajar ke rumahnya alias les private, ataupun ikut bimbeingan belajar (bimbel). Alhasil, gelombang semangat belajar masyarakat, khususnya kaum remaja terlihat luar biasa. Disamping itu, sudah tentu psikologis yang cenderung takut atau khawatir tidak lulus juga ikut didalamnya. Bimbel dan les privat kebanjiran order.

Kedua, ketakutan akan tidak lulus UAN secara psikologis telah melahirkan tren yang mengarah ke nuansa agamais. Di sekolah kami, menjelang UAN ada semacam renungan yang dipandu oleh ahli, seperti yang bergerak dalah SQ, dan mampu menitiskan air mata. Tujuan penyadaran secara psikologis ingin melihat bahwa usaha harus diiringu dengan doa. Selain harapannya mendapat pembekalan secara spiritual kepada siswa, ternyata order untuk para ahli keagaan tersebut meningkat. Pada siaran berita belakangan ini, fenomena kearah agamais tersebut marak diberbagai sekolah. “UAN dikondisikan seperti “Perang Suci”, gumamku.

Ketiga, polisi dan tim independen pengawas UAN-pun demikian. Kita tahu bahwa distribusi soal UAN memerlukan tenaga aparat keamanan tersebut, selain pengawas independen dan tenaga pendidikan terkait. Dan, polisi serta tim independen tersebut mendapatkan penghasilan lebih. Walaupun demikian, saya bertanya didalam hari: “guru di Indonesia sudah tidak dipercaya lagi mungkin, karena untuk distribusi soal saja harus diawasi oleh pihak lain, seperti polisi dan tim independen…”

Fenomena lain saya kira juga masih banyak. Sebagai penutup, saya ingin mengatakan bahwa penyelenggaraan UAN tidak selalu membawa nuansa pendidikan saja, namun juga bersinggungan erat dengan dimensi ekonomi, agamais, politis, dan profesionalisme guru.(Sumber: http://suciptoardi.wordpress.com/2008/04/22/fenomenan-dan-separate-effect-ujian-nasional/)

UAN 2008: Siswaku Tidak Lulus Karena Pengawas Galak!!! (Cerita Siswa)

Malam Jum’at tanggal 12 Juni 2008, bebrapa guru masih tetap di sekolah, saya dan Tim SAS merasa agak janggal karena biasanya kamilah yang gemar pulang malam. Pemandangan tidak biasa ini adalah usaha untuk menunggu hasil UAN yang dihadiri Kepsek, wakil-wakilnya, dan kami. Sekitar pukul 22.00, hasil yang diharapcemaskan akhirnya datang. Siswa IPS ada yang tidak lulus, saya menyayangkan sekaligus sedih. Beberapa hari lalu, teman berkata: “sekolah kita paling banyak yang tidak lulus”.

Kini, kenyataan tersebut sudah berselang tujuh hari. Selama itu, saya tidak berkesempatan berbicara panjang, hanya mengucapkan kata-kata yang menyemangati mereka. Baru hari ini, 19 Juni 2008, saya banyak bicara dengan anak yang tidak lulus. kesempatan ini karena saya ditugasi oleh pihak sekolah untuk memberikan tambahan ilmu guna menghadapi ujian Paket C. Kami mulai pukul 08-09 WIB, setengah jam setelah pertemuan di kelas, saya langsung menulis di blog ini.

Mata pelajaran yang saya ampu, seluruhnya lulus (baca: tidak menyebabkan siswa tidak lulus), jadi apa yang saya harus sampaikan tidak terlalu banyak, dan tidak menjadi beban. Jadi, sekitar 15 menit di awal pembelajaran saya gunakan untuk memotivasi mereka. Dalam proses tersebut, beberapa siswa yang ikut program ini, sekolah menyebutnya : PM, kemudian terjadilah pembicaraan yang serius, mereka curhat. Mereka mengungkapkan “mengapa Mereka Tidak Lulus”. Mereka menceritakan bagaimana sikap yang tidak bersahabat yang ditampilkan pengawas ujian. Ketika ada siswa yang bergerak sedikit, langsung diteriaki: jangan nyontek. Bahkan, pengawas gemar bolak-balik di ruang kelas; ke depan dan ke belakang. Bahkan lagi, ada yang duduk di samping siswa saat ujian berlangsung plus tanya-tanya. muka pengawas yang menegangkan semakin membuat tegang terhadap siswa yang duduk di muka kelas. Suasana kelas menjadi tidak nyaman, dan mata pelajaran yang di ujikan dalam keadaan inilah yang menghasilkan nilai buruk bagi siswa. Karena pengalaman yang tidak akan dilupakan ini, siswa saya menghafalkan guru yang ketika itu membuat kelas menjadi tidak nyaman. Siswaku dengan tegas berkata: “guru tersebut berasal dari SMAN 63, yang badannya besar kaya “bagong”". Demikian, rangkuman hasil pembicaraan dengan siswaku yang dalam UAN tahun ini, dinyatakan tidak lulus oleh pemerintah.

Saya bergumam, jangan-jangan ini adalah pembelaan mereka karena harus ada yang “dikambinghitamkan”. Setelah saya tanyakan apakah mereka belajar selama ini, mereka dengan percaya diri menjawab: “iya saya belajar”, lalu menceritakan sejarahnya. Dapat contekan?, mereka dengan jujurnya berkata: “memang Pak ada contekan, tapi kami tidak memamakinya, banyak yang salah, ngak percaya!!”. Diluar siswa yang bagus ini, memang ada siswa yang tidak lulus karena kemampuannya, dan dalam proses pembelajaran sudah dapat terbaca dengan baik. Tidak perlu dibahas. Namun, seperti cerita di atas, dimana siswa saya yang belajar lalu tidak lulus karena pengawas galak, ada pula yang amat disayangkan. Salah satu murid yang sudah diterima di UGM dengan jalu ujian mandiri (bukan UMB dan SPMB), terancam tidak bisa meneruskan impiannya karena tidak lulus. Siapakah yang harus bertanggungjawab dalam hal ini?, apalagi saya tahu persis bagaimana kemampuannya, dan itu tidak subyektif. Seluruh guru mengatakan anak tersebut anak pintar.

Berdasarkan peristiwa itulah, seyogyanya pembenahan harus banyak dan segera dilakukan, ditindaklanjuti. Seharusnya pihak sekolah (kita) mewanti-wanti agar pengawas mengkondisikan kelas lebih nyaman, karena kenyamanan salah satu kunci konsentrasi yang kemudian melancarkan laju pengisisn lembar ujian. Apabila di langgar, sekolah wajib menegur. Di pihakpengawas, harus lebih mawas diri, introspeksi bahwa kedatangannya kesekolah lain, bukan hanya mengawasi ujian, akan tetapi menyukseskan proses ujian. Artinya, perlakukanlah siswa siswa sebaik mungkin, dan bermartabat. Dan, tulisan yang berasal dari curhat murid saya, dengan menyebutkan nama sekolah tertentu, tidaklah bertujuan menyudutkan apalagi usaha membunuh karakter tertentu, akan tetapi hanya sekedar menuangkan data apa adanya, soal kejujuran diutamakan, serta sebagai bahan introspeksi bagi kita semua. Semoga. Sebagai penutup, tulisan ini merupakan bagian dari proses belajar dari sejarah, yakni belajar untuk tidak mengulagi lagi pada kesalahan yang sama maupun yang baru dengan maksud menuju kehidupan dan pencapaian yang lebih baik, yang demikian itulah tindakan mulia guna memperoleh kebijaksanaan dalam hidup. (Sumber: http://suciptoardi.wordpress.com/2008/06/19/uan-2008-siswaku-tidak-lulus-karena-pengawas-galak/#more-358)

Siswa Peduli Pendidikan

Mulai tahun 2008, blog ini diperluas fungsinya. Tidak hanya pengumuman tentang mapel. Sejarah dan Sosiologi, akan tetapi semua berita yang berhubungan dengan SMAN 32, baik itu yang positif (baca: sebagai penyemangat), dan negatif (baca: sebagai introspeksi). Berikut salah satunya:

Edisi: 1 Mei 2006
Siswa Peduli Pendidikan

Kampanye peduli pendidikan untuk memajukan pendidikan di Indonesia yang selama ini dilakukan Yayasan Nurani Dunia (YND) ternyata telah mendapat sambutan dari masyarakat luas, baik lembaga ataupun individu. Sambutan tersebut terbukti dengan begitu banyaknya pihak menghubungi YND menyatakan keinginannya ikut terlibat dalam memajukan dunia pendidikan di Indonesia.

Salah satu lembaga yang ikut serta terlibat dalam memajukan pendidikan adalah siswa-siswi SMA 32 Jakarta. Pada 3 April 2006 lalu YND dihubungi oleh Bapak Amin Fatkhurrohman, Wakil Kepala Sekolah SMAN 32 Jakarta. Beliau menginformasikan kepada YND bahwa di SMAN 32 telah terkumpul sekitar 1.500-an buku yang disumbangkan oleh para siswa. Pengumpulan buku ini merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap sesama pelajar yang dilakukan SMAN 32 Jakarta.

Untuk menarik minat siswa dalam mengumpulkan buku, SMAN 32 memformat sebuah acara yang cukup unik selama satu bulan lebih (Desember 2005 – Januari 2006), yaitu acara "Surat untuk Sahabat". Dalam acara tersebut dilakukan perlombaan menulis surat dan membungkus kado yang berisi buku-buku pelajaran dan buku cerita. Pembuatan surat, dengan dua bahasa (Indoenesia dan Inggris) ditujukan untuk memberikan dukungan moril kepada para siswa-siswi yang menjadi korban gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Setelah terkumpul, surat-surat tersebut diseleksi oleh para guru bahasa (Indonesia dan Inggris) untuk menentukan siapa yang berhak atas hadiah yang disediakan oleh pihak sekolah. Surat yang telah diseleksi dikirim langsung ke SMAN 2 Banda Aceh. Antusias siswa terhadap program tersebut cukup tinggi. Ini terlihat dari banyaknya jumlah siswa-siswi yang ikut serta dalam kompetisi tersebut - sekitar 800-an siswa ikut berpartisipasi.

Berbagi kepada sesama siswa terlebih mereka yang tertimpa musibah merupakan misi utama dari acara tersebut selain ikut serta dalam memajukan pendidikan di Indonesia.

Rencana awal, buku-buku tersebut akan dikirim langsung oleh pihak SMAN 32 Jakarta kepada siswa-siswi korban gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Namun karena kendala proses pengiriman, maka pada tanggal 13 April 2006 pihak SMAN 32 menyerahkan buku-buku tersebut sekaligus memberikan amanat kepada YND untuk menyalurkannya kepada sekolah-sekolah / siswa siswi yang benar-benar memerlukan buku-buku tersebut.

YND berharap kegiatan yang dilakukan oleh SMA 32 tidak berakhir sampai di sini, namun bisa dilanjutkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan pendampingan kepada masyarakat sekitar serta bisa menjadi pengerak sekolah atau siswa lain untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan. (Sumber: http://www.nuranidunia.or.id/baru/berita.php?bid=9)