02 April 2009

PERISTIWA PEMBANTAIAN ETNIS TIONGHOA DI BATAVIA TAHUN 1740

(Sebuah Tinjauan Analisis Sejarah Lokal Jakarta)


oleh : Andhika Restu P.,S.Pd.

Pembantaian massal terhadap warga etnis Cina (Tionghoa) di Batavia pada tahun 1740 merupakan suatu peristiwa yang cukup memberikan dampak cukup besar dalam perjalanan sejarah di Indonesia, terutama sebagai kajian dalam sejarah lokal untuk regional Jakarta (Batavia). Namun jika ditelusuri lebih lanjut, peristiwa pembantaian etnis Cina tersebut berdampak tidak hanya terhadap masyarakat di sekitar Batavia, namun juga menyebar sampai wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur (wilayah kekuasaan Mataram). Walaupun demikian peristiwa pembantaian etnis Cina ini tetap tergolong sebagai kajian sejarah lokal.

Latar belakang yang ditekankan dalam peristiwa ini adalah seputar kecemburuan ekonomi antara pemerintah VOC dengan para pedagang etnis Cina, yang dianggap oleh VOC dapat membahayakan usaha VOC untuk menguasai nusantara. Maka tidak heran jika VOC mempunyai perasaan tidak sedang (bersikap rasial) terhadap warga etnis Cina. Sehingga penyebab terjadinya pembantaian tersebut bukan semata-mata akibat dari kesalahan warga etnis Cina.

Menurut pendapat Mona Lohanda, peristiwa pembantaian etnis Cina pada tahun 1740 yang menelan korban ribuan warga Cina di Batavia (ada yang menyebut 6000, 7000 ada yang memperkirakan 10.000 orang) juga merupakan klimaks perseteruan politik antara Gubernur Jenderal Valckenier dengan anggota Dewan Hindia, Baron van Imhoff. Perseteruan yang menjadi konflik pribadi itu dimulai ketika keduanya mengincar kedudukan gubernur jenderal yang ditinggal oleh Abraham Patras yang meninggal pada tahun 1737. Walaupun kemudian pertarungan merebut posisi tertinggi dalam kekuasaan VOC, itu dimenangkan oleh Valckenier yang menjadi gubernur jenderal (1737-1741). Mona Lohanda mendasari latar belakang pembantaian tersebut dari konflik pribadi antara para petinggi VOC di Batavia.

Mona Lohanda menambahkan bahwa dendam yang masih tersimpan dalam diri Baron van Imhoff muncul lagi ketika dalam rapat Dewan Hindia ia mengeritik kebijakan Valckenier yang dituduhnya menyebabkan terjadinya pembantaian orang Cina di Batavia. Sebagai penguasa tertinggi Valckenier lalu memecat Baron van Imhoff. Namun Dewan Tujuh Belas (Heeren XVII) di Amsterdam mengangkat Baron van Imhoff sebagai gubernur jenderal menggantikan Valckeneir. Baron van Imhoff memerintahkan untuk menangkap Valckeneir dan dijebloskan di penjara Robijn di Batavia pada November 1742. Pengadilan yang sudah diatur oleh Baron van Imhoff menjatuhkan hukuman mati kepada Valckeneir. Berkat usahanya yang terus menerus Valckeneir terhindar dari hukuman mati. Valckeneir akhirnya meninggal di penjara pada 20 Juni 1751.

Pendapat warga etnis Cina tentang peristiwa pembantaian di Batavia tahun 1740 adalah lebih menyalahkan tindakan Baron van Imhoff daripada Valckeneir. Baron van Imhoff di mata mereka, adalah penyebab utama dari semua huru hara itu. Menurut seorang pedagang Kanton yang lolos dari peristiwa itu dikatakan bahwa kejadian itu lebih disebabkan oleh watak buruk dan moral yang rendah dari pribadi-pribadi yang sedang berkuasa waktu itu.

Menurut Ricklefs, Heeren XVII di Amsterdam mengagumi industri warga etnis Cina, tetapi penduduk lokal Batavia tidak menyukai dan mencurigai mereka. Perkembangan lain ikut meningkatkan rasa tidak aman orang Eropa di Batavia. Setelah terjadi penangkapan terhadap kompolatan Pieter Erbervelt pada tahun 1721, perlakuan VOC dan penduduk lokal terhadap warga etnis Tionghoa di Batavia semakin bertambah kejam. Perasaan saling curiga menyebabkan meletusnya tindak kekerasan pada bulan Oktober 1740. berdasarkan bukti-bukti yang berhasil diperoleh, VOC menyimpulkan bahwa warga etnis Cina sedang merencanakan pemberontakan. Pihak Cina merasa yakin, VOC akan mengirim kelebihan orang Cina ke luar Batavia dan membuang mereka ke laut Menurut Ricklefs orang-orang Eropa dan para budaklah yang paling banyak melakukan pembunuhan.

Beberapa pendapat diatas dapat saja menjadi pemicu peristiwa pembantaian etnis Cina di Batavia secara bersamaan, karena bila dilihat dari sisi ekonomi dan politik, pemerintah VOC merasa tersaingi dengan kemajuan ekonomi yang dimiliki oleh etnis Cina dan di sisi lain faktor konflik internal di tubuh VOC dapat menjadi pemicu pula munculnya peristiwa pembantaian tersebut.

Konflik yang terjadi memang terlihat seperti konflik kelas antara etnis Cina dengan pemerintah yang berkuasa yaitu VOC dan ditambah dengan para budak yang bukan orang Eropa. Dengan demikian konflik yang terjadi merupakan konflik vertikal antara etnis Cina dengan pemerintah VOC dan konflik horizontal antara etnis Cina dengan para budak yang umumnya adalah para bumiputera.

Menurut Marx, di belakang semua perang dan pemberontakan, terdapat kelas-kelas sosial yang memperjuangkan kepentingan mereka, yang satu tetap menindas segala ancaman terhadap kedudukan mereka dan yang lain membebaskan diri dari ketertindasan itu. Selanjutnya menurut Marx, kebijakan politik sebuah negara sangat ditentukan oleh kepentingan-kepentingan kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi. Tidak dapat disangkal bahwa struktur kekuasaan bidang ekonomi mempengaruhi struktur kekuasaan politis. Dengan demikian pemicu munculnya pemberontakan yang berujung pada pembantaian etnis Cina di Batavia tahun 1740 sesuai dengan teori konflik kelas Marx, dimana kelas yang tertindas akan berusaha memperjuangkan kepentingan mereka melawan kelas yang menindas mereka.

Perlawanan atau pemberontakan tersebut memiliki faktor pendorong yang berujung pangkal dari rasa ketidakadilan yang diderita oleh warga etnis Cina dari kebijakan-kebijakan pemerintah VOC di Batavia. Kebijakan-kebijakan tersebut tidak lain lahir akibat adanya ancaman persaingan ekonomi antara warga etnis Cina dengan VOC. Menjelang peristiwa pembantaian, etnis Cina di Batavia mendapat perlakuan yang kurang adil dan bijaksana dari pemerintah VOC. Etnis Cina dikenakan berbagai peraturan yang secara eksplisit sangat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari etnis Cina terutama di bidang ekonomi. Pemerintah VOC berdalih bahwa tindakan yang dilakukan semata-mata untuk mengurangi jumlah populasi warga etnis Cina yang semakin bertambah banyak dan dikhawatirkan akan memunculkan tindakan-tindakan kriminal bagi penduduk Batavia yang lain.

Rasa ketidakadilan yang diderita oleh etnis Cina sehingga memicu pemberontakan yang akhirnya berujung kepada tindakan represeif dari pemerintah VOC sesuai dengan teori Spiral Kekerasan (Spiral of Violence) yang diutarakan oleh Dom Helder Camara. Dalam teori ini kekerasan memiliki tiga bentuk yaitu kekerasan yang berbentuk personal, institusional, dan struktural, yaitu ketidakadilan, kekerasan pemberontakan sipil dan represi negara. Ketiganya saling berkait satu sama lai, kemunculan kekerasan satu disusul dan menyebabkan kemunculan kekerasan lainnya. Dari ketiga bentuk kekerasan itu yang paling mendasar dan menjadi sumber utama adalah ketidakadilan.

Bila dijelaskan melalui teori Spiral Kekerasan, dapat diambil kesimpulan bahwa latar belakang terjadinya pembantaian etnis Cina di Batavia tahun 1740 bersumber dari munculnya rasa ketidakadilan yang dialami oleh etnis Cina yang berasal dari berbagai kebijakan VOC yang semakin memberatkan warga etnis Cina di Batavia. Penderitaan tersebut semakin berat sehingga memunculkan reaksi dari warga etnis Cina untuk melakukan perlawanan atau pemberontakan selanjutnya aksi pemberontakan dari etnis Cina tersebut mendapatkan reaksi represif dari pemerintah VOC dalam bentuk pembantaian terhadap seluruh etnis Cina di Batavia.

Perkembangan selanjutnya pembantaian etnis Cina tersebut menyebar sampai ke wilayah Mataram di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Peristiwa pembantaian itu diikuti oleh apa yang disebut perang Wolanda-Cina, yang kemudian berubah menjadi perang perebutan tahta di antara para pangeran Jawa. Perkara kerusuhan (pembantaian) etnis Cina di Batavia berdampak juga kepada kestabilan politk di Kesultanan Mataram. Perang perebutan tahta Mataram berlangsung berkali-kali, sekalipun konspirasi Cina-Jawa dapat dipatahkan, tetapi baru tahun 1755 masalah itu dapat dibereskan.

Pasca peristiwa pembantaian ini, VOC mulai merasa khawatir perekonomian VOC terutama di Batavia akan mengalami kemunduran oleh karena itulah VOC masih membutuhkan etnis Cina sebagai mitra dagangnya, hal ini terlihat dari usaha-usaha pemerintah VOC untuk merekonsiliasi kembali hubungannya dengan etnis Cina di Batavia pasca terjadinya peristiwa pembantaian. Menurut Onghokham hubungan baik antara Cina dan Belanda dapat dipulihkan dalam waktu satu atau dua tahun, bahkan di Batavia berlangsung lebih cepat. Akan tetapi pembantaian tahun 1740 itu mempunyai akibat yang permanen, yaitu diharuskannya orang Cina tinggal di pemukiman-pemukiman khusus yang disebut kamp Cina (Kampung Cina/Pecinan), dan mereka tidak diizinkan tinggal di tempat-tempat lain. Pemukiman-pemukiman itu disebut Pecinan dan pola pemukiman tersebut mengakibatkan timbulnya penetapan sistem wilayah. Dalam bahasa Belanda disebut wijkenstelsel, bersama passenstelsel, yang mengharuskan adanya surat izin bagi orang Cina yang hendak berpergian keluar pemukiman mereka, membatasi kebebasan bergerak mereka. Namun walaupun mendapat kebijakan yang membatasi kebebasan bergerak, menjelang akhir abad ke-18, pengaruh dan kekuasaan orang Cina di sepanjang pantai utara Jawa sama besarnya dengan waktu sebelumnya. Hal ini mengindetifikasikan bahwa perekonomian etnis Cina telah pulih dalam waktu singkat pasca peristiwa pembantaian tersebut.

Dalam bukunya, Hembing mencermati bahwa peristiwa pembantaian etnis Cina tersebut dilakukan VOC melalui strategi devide et impera demi menguasai nusantara. devide et Impera yang dimaksudkan antara lain adalah VOC mengeluarkan berbagai macam peraturan yang bertujuan memisahkan warga etnis Cina dengan masyarakat setempat. Ditambahkan lagi bahwa sikap saling memusuhi yang pernah tercipta adalah upaya adu domba VOC yang tidak menyukai adanya hubungan yang harmonis antara warga etnis Tionghoa dengan masyarakat setempat.

Kita tidak dapat selalu menyimpulkan bahwa VOC (Belanda) selalu melakukan politik devide et Impera dalam melakukan usahanya untuk mempertahankan kekuasaannya di nusantara. Menurut Bambang Purwanto, perkembangan kolonialisme Belanda (VOC) tidak dapat hanya dipahami secara umum dalam konteks politik devide et impera. Dalam historiografi yang Indonesiasentris, VOC selalu digambarkan memiliki tujuan utama yaitu berusaha menguasai kerajaan dan menguasai nusantara secara keseluruhan. Strategi yang digunakan tidak lain adalah strategi devide et impera (politik adu domba). Peristiwa pembantaiannya etnis Cina nampaknya bermula dari persaingan ekonomi yang sudah ada dan masalah mengenai kependudukan di Batavia, jadi bukan keinginan VOC untuk memecah belah (devide et impera). Dengan demikian historiografi mengenai peristiwa pembantaian etnis Cina ini masih sangat kental memiliki perspektif Indonesiasentris.

Dalam buku ini, Hembing menggunakan berbagai macam sumber tertulis (pustaka) baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri, sehingga keseimbangan obyektivitas dapat terjaga. Namun arsip-arsip atau dokumen asli yang nampaknya berkaitan dengan pemerintahan VOC pada saat peristiwa terjadi tidak digunakannya. Kedekatan emosional Hembing juga lebih tinggi mengingat beliau adalah keturunan etnis Cina sehingga eksplanasi historis yang ditampilkan sangat menitikberatkan dari sudut padang etnis Cina yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut.

Eksplanasi historis mengenai pembantaian etnis Cina ini nampaknya harus mendapat perhatian lebih dalam sejarah lokal Jakarta. Hal ini diperlukan mengingat Jakarta merupakan kota yang heterogen. Di kota Jakarta, etnis Cina berjumlah cukup banyak, sehingga nampaknya peristiwa sejarah mengenai tragedi pembantaian etnis Cina di Batavia tahun 1740 ini perlu diajarkan di sekolah sebagai muatan lokal selain memang merupakan salah satu sejarah lokal yang cukup penting dalam perjalanan sejarah lokal kota Jakarta.



Camara, Dom Helder . Spiral Kekerasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000)

Lohanda. Mona. Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (Jakarta: Masup Jakarta. 2007)

Purwanto, Bambang. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris. (Yogyakarta: Ombak.2006)

Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi. 2008)

Suseno, Franz Magnis . Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke peselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia. 1999)

Wertheim. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi : Studi Perubahan Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana. 1999)

Wijayakusuma, Hembing. Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke (Jakarta: Obor. 2005)