Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan standar tertentu sejak awal millenium ini, telah membawa kondisi psikologis siswa ke ruang yang baru, yakni sebuah rasa takut sekaligus was-was menyoal kelulusan. Realitas yang hadir, UAN yang diutamakan, bahkan standar lulus yang diperluas dan didesentralisasikan ke sekolah tidak banyak membuat siswa bergeming untuk tetap mengutamakan UAN. “UAN lulus, pasti lulus semua”, kira-kira begitulah keyakinan siswa kelas 12 sekarang ini. Padahal, kelulusan sekarang bergantung pula, bukan hanya pada Nilai UAN akan tetapi UAS, Ujian Praktik/raport, dan sikap harus berstatus baik.
Disinilah timbul kesenjangan, masalah yang muncul adalah seharusnya siswa mengedepankan kebermaknaan dalam melampaui ujian-ujian tersebut, akan tetapi sebaliknya : mereka menganggap “tidak berpengaruh”, walaupun ujian-ujian non-UAN anjlok (baca : akan dibantu sekolah). Hal ini cukup beralasan, karena selama ini pada umumnya Ujian akhir versi sekolah : “langka yang tidak lulus, alias : semua lulus”. Tercium wangi aroma kebohongan, dan bukan hal baru kalau gengsi sekolah telah “menyulap” nilai yang rusak menjadi “kinclong”. Keburukan tersebut, bertambah setelah banyak kalangan yang disebut pihak independen merilis kecurangan - kecurangan dalam UAN sekarang ini, bahkan sebelum - sebelumnya. Kini, bagamanakah solusinya agar UAN dan UAS memiliki kebermaknaan apabila siswa melakukannya ?, dan jelas : agar tidak meremehkan versi sekolah.
No comments:
Post a Comment